Nelayan di Sulamu, Nusa Tenggara Timur (NTT) termasuk yang paling rentan dalam persaingan industri perikanan nasional. Setidak-tidaknya terdapat dua hambatan utama yang sehari-hari mesti mereka hadapi: minim akses ke pasar perikanan serta manajemen rantai pendinginan ikan yang kurang baik.
Melalui kerja sama teknologi berskala internasional, Uni Eropa (UE) memprakarsai perancangan mesin pembuatan es bertenaga matahari. Inovasi teknologi bersih ini tak hanya mengurangi pengeluaran bahan bakar nelayan pergi ke Kupang—kota terdekat untuk menjual hasil tangkapan—tetapi juga menawarkan akses pendingin berkualitas baik bagi masyarakat luas di Sulamu.
Dulu nelayan Sulamu nyaris setiap hari menjual ikan ke Kupang. Jonson—mesin penggerak perahu yang berbahan bakar diesel—harus sering-sering menyala. Mesin pembeku bertenaga surya mampu menghasilkan satu ton es dalam sehari dan dapat digunakan untuk menyimpan hasil tangkapan selama beberapa hari, sebelum dijual ke Kupang.
Mesin pembuat es bertenaga surya membantu nelayan menghemat 14.290 liter bahan bakar diesel per tahun. Inovasi sekaligus mengurangi karbon dioksida (emisi gas buang diesel) hingga 40 ton/tahun.
Sistem pembeku bertenaga surya dapat memaksimalkan waktu melaut para nelayan. Dengan begitu, nelayan juga memiliki lebih banyak waktu untuk menangkap ikan berkualitas baik. UE dalam laporan tahunan “Green Recovery EU-Indonesia Partnership 2021” memperkirakan mesin pembeku es bertenaga surya menciptakan nilai tambah sebesar US$70.000 (atau sekitar Rp997 juta) bagi warga perkampungan Sulamu.
Gabriel, seorang nelayan yang merasakan dampak positif mesin pembeku bertenaga surya, bercerita, beberapa nelayan Sulamu kerap membuang hampir 15 ton ikan busuk ke laut. Belasan ton ikan dibuang begitu saja lantaran mereka tak punya sistem pembeku yang memadai. “Kini kami punya mesin pembuat es yang 100% bersumber dari Matahari. Kami berharap [inovasi] ini akan menciptakan lapangan kerja baru bagi pemuda kampung,” katanya.