Terdapat dua hal yang beroposisi ketika membahas bahan baku dalam industri panel surya. Mengimpor bahan baku barangkali mempercepat laju industrinya, tetapi berdampak signifikan pada pengurangan potensi tenaga kerja lokal. Sebaliknya, mengusahakan bahan baku di dalam negeri akan memperluas lapangan kerja, tetapi, mungkin, target pertumbuhan lebih lambat ketimbang mengimpor perlengkapannya. Jadi, apa yang hendak lebih dulu diprioritaskan?
Berbicara dalam Partnering for Green Growth and the Global Goals 2030 Summit pada awal Juni silam, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengingatkan pemerintah sedunia untuk memprioritaskan manusia dalam pertumbuhan hijau. “Upaya pertumbuhan hijau,” kata Guterres, “harus melindungi orang-orang paling rentan sembari mempertahankan pemulihan yang kaya akan pekerjaan.”
Prioritas kian krusial ketika pembahasan mencakup lingkup perkotaan. Jakarta, misalnya, punya populasi angkatan kerja 5,16 juta jiwa. Sebanyak 4,83 juta di antaranya memiliki pekerjaan. Sisanya, 320 ribu orang, tercatat menganggur.
Pada saat yang sama, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah menggalakkan pemanfaatan panel surya di pelbagai ruang. Misalnya perumahan, sekolah serta perkantoran. Pada 2020, tercatat 73 sekolah negeri yang dipasangi sistem panel surya atap. Kapasitas panel surya sebesar masing-masing 24,6 killowatt-peak (kWp).
Pemanfaatan panel surya diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru bagi ratusan ribu pengangguran di ibu kota. Greenpeace dan Tropical Renewable Energy Center (TREC) dalam laporan “Jakarta Solar City, Jakarta Baru: Solusi Polusi, Emisi dan Ekonomi dengan PLTS Atap” memperkirakan industri panel surya dapat mengurangi hingga 113 ribu pengangguran Jakarta dalam lima tahun.
Pada akhirnya, pemanfaatan panel surya atap tak sekadar peralihan dari ketergantungan atas energi fosil. Lebih dari itu, memperluas lapangan kerja bagi warga yang berhak memperoleh manfaat dari energinya.