Survei yang dilakukan World Economic Forum (WEF) mengungkapkan, lebih dari 14 ribu anak muda atau 74,8 persen dari total responden di 187 kota di berbagai negara menginginkan para pemimpin berkomitmen melakukan aksi nyata demi memperbaiki kerusakan bumi. Anak muda meminta semua pemangku kebijakan berpartisipasi dalam rencana pemulihan hijau (green recovery), dan mendesak perusahaan mengganti anggota direksi yang enggan bertransisi ke energi terbarukan.
Di antara negara-negara di dunia, merujuk data dari Program Lingkungan PBB, Finlandia, Norwegia, Denmark, Jerman, Prancis, dan Polandia, merupakan negara yang paling banyak berinvestasi untuk pemulihan hijau. Di antaranya dengan memberi paket subsidi untuk bus sekolah, taksi, van, dan mobil listrik, serta subsidi untuk memasang panel surya atap.
Bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan laporan tahunan Climate Transparency Report 2020, kinerja Indonesia dalam pemulihan hijau belum terlalu baik. Hal ini terlihat dari posisi Indonesia yang masih sangat jauh dari target untuk mengurangi 26 persen emisi gas rumah kaca pada tahun 2025 dan 29 persen tahun 2030. Padahal selama ini, Presiden Joko Widodo dan para menteri berulang kali menyatakan bahwa pemulihan hijau merupakan langkah yang harus diambil untuk keluar dari pandemi maupun krisis yang diakibatkannya.
Namun, masih ada kesempatan untuk melakukan perubahan. Anak-anak muda dalam survei mendesak pemerintah dan kalangan bisnis untuk segera bertindak mengatasi krisis iklim, yaitu dengan melakukan empat hal.
Pertama, mendesak pemerintah berinvestasi di komunitas yang paling terdampak krisis iklim. Kedua, lembaga keuangan berhenti mendukung perusahaan yang memulai eksplorasi batu bara. Ketiga, perusahaan secara signifikan mengurangi emisi. Keempat, memastikan seluruh pemangku kepentingan menjalankan rencana pemulihan hijau yang mendesak.
Dalam laporan tersebut, anak-anak muda ini juga merekomendasikan agar pemerintah, “Segera menyusun pemulihan ekonomi, melalui investasi dan kebijakan yang memungkinkan terjadinya peralihan cepat dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Hal yang memerlukan investasi segera yaitu untuk membangun jaringan listrik yang tangguh, efisiensi energi untuk bangunan, angkutan umum massal. Investasi penting lebih lanjut juga harus dilakukan untuk efisiensi energi, restorasi ekosistem, praktik pertanian berkelanjutan, dan inovasi untuk mengurangi krisis iklim sambil menciptakan lapangan kerja.”
Anak-anak muda ini juga ingin agar kampus-kampus di seluruh dunia memastikan literasi Environmental, Social, and Corporate Governance (ESG) diintegrasikan ke dalam kurikulum bisnis dan teknologi. Pemerintah juga dapat menawarkan insentif terkait pendanaan, perpajakan, dan peluang pasar kepada perusahaan yang menerapkan standar ESG.
“Di balik rencana pemulihan hijau terdapat keyakinan bahwa memberi kesempatan anak muda bersuara dalam pengambilan keputusan, akan jauh lebih efektif, berkelanjutan, inklusif, dan memberi kepastian masa depan yang lebih baik,” kata Abdullahi Alim dari Global Shapers Community dan Natalie Pierce dari World Economic Forum.