Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang diterbitkan pemerintah awal Oktober lalu menunjukkan, porsi pembangkit energi (baru) terbarukan sebesar 51,6% dan pembangkit berbahan bakar fosil 48,4% dari total pembangkit baru. Namun, tetap akan ada penambahan sekitar 39 PLTU baru dengan kapasitas 13,8 gigawatt atau 34% dari total pembangkit baru yang dibangun.
Dengan persentase itu, pemerintah mengklaimnya sebagai RUPTL hijau meski terlihat jelas ketergantungan Indonesia terhadap batu bara. Tahun ini, persentase bauran energi terbarukan di sistem energi nasional 12,6%, dan ditargetkan bertambah jadi 23% pada 2025. Merujuk pada RUPTL itu, bauran energi terbarukan menjadi 24,78% pada 2030, sementara batu bara bakal masih menguasai dengan lebih dari 59%.
Sementara pemerintah Indonesia masih tidak mau menjauhkan diri dari batu bara, investor telah dan mulai meninggalkan energi kotor itu serta mengalihkan modal mereka untuk investasi di energi terbarukan. Sepanjang tahun 2020, nilai investasi energi terbarukan mengalahkan bahan bakar fosil secara global, baik di negara maju maupun berkembang.
Sejak awal 2020 hingga 27 Oktober 2021, Multilateral Development Banks (MDB) telah menghabiskan US$ 13,15 miliar untuk mendukung energi bersih atau empat kali lebih besar dibanding hanya US$ 3 miliar untuk bahan bakar fosil. Bloomberg Philanthropies dan International Solar Alliance (ISA) mengumumkan kerja sama memobilisasi US$ 1 triliun investasi global untuk tenaga surya. Mereka juga memulai pengembangan Solar Investment Action Agenda dan Solar Investment Roadmap yang berturut-turut akan diluncurkan saat COP26 dan tahun 2022.

Amalgamated Bank menjadi bank pertama di Amerika Serikat yang mengumumkan komitmen berkontribusi pada target iklim dengan mengurangi emisi 49% tahun 2030 dan 100% pada 2045. ABP, dana pensiun terbesar di Eropa, baru-baru ini mengumumkan komitmennya untuk menghentikan pendanaan bahan bakar fosil. Mereka memastikan akan menjual kepemilikan senilai 15 miliar Euro di perusahaan bahan bakar fosil. Pimpinan ABP Corien Wortmann-Kool menyatakan, tidak akan lagi berinvestasi di produsen minyak, gas, dan batu bara dan meninggalkan investasinya di sektor itu pada kuartal pertama 2023.
Laporan ClimateScope 2020 yang diluncurkan BloombergNEF mengungkapkan, Indonesia hanya berada di peringkat 71 dari 108 negara berkembang yang menarik untuk investasi energi bersih. Di Asia Tenggara, Indonesia unggul dari Laos yang ada di peringkat 82 dan kalah dari Filipina (12), Vietnam (19), Thailand (30), Malaysia (35), Kamboja (42), Singapura (47), dan Myanmar (61).
Menurut laporan ini, pangsa energi terbarukan Indonesia tumbuh sedikit karena kurangnya dukungan pemerintah. Termasuk ketidakjelasan dan ketidakpastian proses tender, serta hanya sedikit kejelasan mengenai perjanjian jual beli listrik—hal-hal yang meningkatkan risiko dan membuat proyek energi terbarukan kurang menarik. Padahal bank komersial memiliki minat untuk berpartisipasi dalam pasar energi terbarukan, namun keterlibatan mereka terbatas lantaran kurangnya proyek layak investasi.
Melihat fakta-fakta ini, pemerintah punya kesempatan untuk membuat investor mau secara masif menghabiskan uangnya di bisnis ini di masa datang. Terutama mengingat, sebuah laporan terbaru menunjukkan bahwa investasi di energi terbarukan sangat menjanjikan.