RUU EBT mestinya dibuat untuk mempercepat transisi energi, dan mencapai net zero pada tahun 2060 atau lebih cepat. Alih-alih memprioritaskan energi terbarukan, DPR justru memperkuat posisi energi baru pada rapat pleno (17/03). Malah, salah satu hasil harmonisasi memisahkan dua energi ini, sehingga berubah nama menjadi RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Mengutip Pasal 1 RUU, energi baru adalah semua jenis energi, baik terbarukan, maupun tidak, yang diolah dengan teknologi baru. Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa sumber energi baru terdiri dari nuklir, hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Nuklir dan batu bara mestinya tidak perlu dimasukkan ke dalam RUU, karena sudah ada undang-undang yang mengatur keduanya. Apalagi, ketersediaan uranium dan nilai ekonomi rendah, serta pembangkit rentan krisis iklim. Penelitian Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menunjukkan, total CO2 yang dihasilkan pembangkit listrik dengan gasifikasi batu bara dua kali lebih tinggi daripada pembangkit berbahan bakar gas. Lebih banyak dampak negatif daripada positifnya.
“Masuknya teknologi energi baru seperti hilirisasi batu bara akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil. Sementara itu, masuknya PLTN akan menghambat transisi energi yang membutuhkan pengembangan energi terbarukan berskala besar dan cepat,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essentials Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, Kamis (21/03).
Laporan terbaru Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), menyoroti kelayakan ekonomi dalam proyek gasifikasi batu bara antara pemerintah dan Air Products & Chemical. Laporan IEEFA mengungkapkan, subsidi pemerintah yang serupa dengan subsidi LPG saat ini dibutuhkan oleh DME, karena tingginya harga produksi sebesar US$ 601/ton, yang sudah mencakup 15% margin produksi DME untuk Air Products.
“Dari sisi pemerintah, penghematan hanya akan bisa didapat bila harga LPG di atas level tertentu—sekitar US$ 858/ton,” kata Ghee Peh, analis energi IEEFA penulis laporan tersebut. “Karena ini hanya terjadi selama 6% dalam 20 tahun terakhir, maka proyek DME dalam bentuknya saat ini tidak akan dapat menjustifikasi penghematan apapun, dan juga tidak akan dapat memuaskan para stakeholders sekaligus.”
Koalisi Rakyat Peduli Energi Terbarukan telah membuat petisi agar DPR menghapus batu bara dan nuklir dari RUU tersebut. Sudah ada sekitar 3.350 orang tanda tangan, mari kita tambah dukungan! Klik di sini.