Mobilisasi keuangan menjadi satu dari tiga isu utama percepatan transisi energi terbarukan yang dibahas dalam Presidensi G20 Indonesia. International Energy Agency (IEA) menyatakan, guna memperoleh dana internasional untuk investasi energi terbarukan, negara yang membutuhkannya perlu mengambil langkah nyata untuk berbenah.
Dalam tulisannya di weforum.org, Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol menyebutkan langkah nyata tersebut mencakup, memperkuat kerangka pembiayaan berkelanjutan, mengatasi hambatan investasi asing, menghilangkan risiko regulasi, mempermudah prosedur perizinan dan pengadaan lahan, serta mengubah kebijakan yang mendistorsi pasar energi lokal.
Menurutnya, investasi menjadi kendala utama bagi negara berkembang untuk dapat mengakses potensi besar manfaat ekonomi energi terbarukan. Padahal, secara global, tidak ada kekurangan pendanaan untuk investasi energi hijau ini. Meski demikian, negara berkembang hanya berkontribusi pada seperlima investasi global di sektor tersebut.
“Di banyak negara berkembang, emisi naik sementara investasi energi bersih justru berkurang, menciptakan kondisi berbahaya pada upaya global untuk mencapai target iklim dan energi berkelanjutan,” kata Fatih Birol dalam keterangan resmi IEA.
Sidang ke-2 Energy Transition Working Group (ETWG) G20 membuka peluang kemitraan internasional untuk mempercepat transisi energi di masing-masing negara anggota. Ketua ETWG Yudo Dwinanda Priaadi mengungkapkan, Indonesia perlu memperkuat kemitraan internasional untuk mendukung pengembangan kebijakan dan program transisi energi.
“Ketahanan energi ini menjadi lebih penting karena saat ini rantai pasok sedang terganggu. Makanya, kami ada model baru dari kerja sama yaitu, Just Energy Transitions Partneship (JETP). Tapi banyak skema baru tidak hanya JETP, ada juga skema kerja sama komitmen keuangan,” tutur Yudo.
Fatih Birol menyatakan, meski dunia mengembangkan teknologi energi bersih dalam kecepatan fantastis, tetap perlu dipercepat agar tetap pada jalur netralitas karbon pada 2050 dan berpeluang membatasi kenaikan suhu pada 1,5°C. Hal ini tidak akan terjadi jika masih terdapat banyak negara yang tidak dapat mengakses pendanaan agar memperoleh manfaat ekonomi energi terbarukan.
