Laporan Internasional Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling bergantung pada batu bara di dunia. Padahal, dalam skenario di mana negara-negara dunia memiliki aksi iklim yang agresif, permintaan batu bara global akan turun dengan cepat. Kondisi ini mengancam daerah di Indonesia yang perekonomiannya bergantung pada batu bara, termasuk pekerjanya.
Di sisi lain, meski turut menyebabkan berkurangnya lapangan kerja di sektor batu bara, transisi ke energi terbarukan juga menjadi solusinya. Menilik laporan IEA, transisi energi terbarukan di Indonesia akan menghasilkan tambahan 500 ribu pekerjaan pada 2030, dan pada saat yang sama 230 ribu pekerjaan di sektor batu bara akan hilang.
“Pengembangan energi terbarukan dan rantai nilainya dapat mendiversifikasi perekonomian Indonesia dan menawarkan peluang baru bagi daerah-daerah yang bergantung pada energi fosil,” demikian tertulis dalam laporan IEA.
Namun, kebijakan yang terintegrasi dan berwawasan ke depan diperlukan untuk memastikan transisi yang adil bagi pekerja dan komunitas yang akan terdampak. Apalagi, pekerjaan baru yang muncul dari transisi energi belum tentu berada di daerah yang selama ini bergantung pada sektor batu bara. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu merumuskan kebijakan transisi energi yang adil untuk memastikan transisi yang inklusif secara sosial dan menyediakan peluang bekerja yang layak.
Indonesia dapat mencontoh beberapa negara lain yang juga dalam proses transisi dari batu bara, yakni dengan membentuk “Komisi Batu bara”. Melalui komisi ini, pemerintah menggandeng pihak terkait untuk menentukan langkah mentransisi sektor tambang batu bara, sekaligus memperoleh konsensus sosial. Beberapa negara yang mengambil langkah ini adalah Kanada, Chili, Republik Ceko, Jerman, Spanyol, dan Afrika Utara.
Selain itu, beberapa program yang telah dijalankan sejak pandemi Covid-19, juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan dukungan bagi pekerja yang terdampak transisi energi. Salah satunya Kartu Prakerja yang dirancang menghubungkan pekerja dengan lembaga pelatihan, dan dana kompensasi. Kompensasi dianggap perlu untuk memangkas hambatan transisi dan menciptakan peluang ekonomis baru.
“Dukungan-dukungan transisi yang adil harus mencapai 70-80% pekerja Indonesia, terutama pekerja informal yang kebanyakan menerima gaji rendah dan manfaat lain yang minim, serta menghadapi ketidakpastian bekerja,” demikian ditegaskan dalam laporan IEA.
