Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik semestinya menjadi angin segar bagi transisi energi di Indonesia. Pasalnya, meski merupakan regulasi perdana yang mengatur pensiun dini PLTU, justru terdapat celah yang melanggengkan operasi pembangkit listrik berbahan bakar batu bara ini.
“Masih dibuka cukup banyak celah untuk kemudian memberikan ruang pengembangan PLTU ke depannya. Semangat transisi energi, at the same point masih belum clear dilihat di sini (Perpres No. 112/2022), karena masih banyak pengecualian,” kata Grita Anindarini, Direktur Program Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), pada webinar policy update, Rabu (21/09).
Padahal, menurut dia, percepatan transisi energi membutuhkan rencana yang kuat, jelas, dan kepastian waktu pensiun PLTU batu bara. Namun, Perpres 112/2022 belum cukup jelas mengatur soal percepatan penghentian operasi PLTU. “Soal pengakhiran PLTU ini, hanya nyantol saja. Yang kita tunggu-tunggu ini peta jalan. Proyek-proyek mana saja yang akan di-phase out. Peta jalannya masih unclear,” jelasnya.
Sementara itu, Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR menilai, harga patokan energi terbarukan dalam Perpres 112/2022 sudah lebih menarik bagi investor dari peraturan yang berlaku. Namun, perencanaan dan proses lelang harus jelas dan transparan agar harga yang dihasilkan cukup bersaing dan tidak memakan waktu lama untuk dinegosiasikan. Semakin besar proyek yang ditawarkan, harga lelang akan semakin baik.
Namun, diakuinya, banyaknya PLTU yang akan beroperasi akan membatasi integrasi energi terbarukan dalam sistem, utamanya di Jawa-Bali. “Jika kita mau kejar target (energi terbarukan) 23% ya harus ada perubahan di sistem PLN, harus ada (pembangkit) yang dikurangi juga,” Deon menjelaskan.
Grita menambahkan, perlu terobosan khusus untuk memastikan langkah transisi energi, khususnya pemanfaatan energi terbarukan, agar tidak terhenti akibat suplai listrik PLN yang berlebih. Adanya Perpres ini pun dapat menjadi momentum evaluasi kebijakan pemerintah.
“Jadi buat saya (Perpres) ini betul-betul salah satu momentum untuk mengevaluasi seluruh kebijakan yang ada. Betul-betul melihat mana yang mendukung transisi energi dan mana kebijakan-kebijakan yang menghambat. Dan kebijakan yang menghambat ini lah yang perlu untuk diantisipasi,” Grita menuturkan.
